PENDAHULUAN
·
Latar Belakang
Dalam
perkembangan kehidupan bersama manusia kesepakatan antar manusia dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian
merupakan sumber hukum yang semakin penting. Semakin banyak persoalan antar
individu yang memerlukan peraturan yang hanya mungkin dilakukan dengan
perjanjian.
·
Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di
atas rumusan masalah untuk makalah ini:
1. Perjanjian
yang marak di masyarakat masih banyak yang tidak sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku.
2. Banyaknya
sanksi yang tidak di ketahui para pengguna perjanjian apabila dilanggarnya.
·
Tujuan
1. Untuk
mengetahui aturan hukum yang berada dalam perjanjian.
2. Untuk
mengetahui sanksi yang diberikan apabila melanggar.
PEMBAHASAN
a. Pengertian
Perjanjian
Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan
menyebutkan bahwa perjanjin itu adalah “suatu perbuatan hukum dimana seorarng
atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”.
Menurut R Wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai
berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai
harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam mana satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu
hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.
Selanjutnya menurut pendapat A,Qirom Samsudin Meliala
bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa simana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal”
Dalam kitab undang undang hukum Perdata terjenahan R
subekhi dan R Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang
dipaki adalah perikatan sebagaimana disebut dalam pasal 1233 KUH Perdata.
Jadi kedua istilah tersrbut sama artinya, tetapi
menurut pendapat R.Wirjno Prodjodikoro bahwa Perjanjian dan persetujuan adalah
berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih
mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak,
sedangkan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda
kekayaan antara dua pihak. Dimana satu pihak berjanji atau di anggap berjanji
ntuk melakukan sesuatu. Hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.
Dari kedua definisi yang di kemukakan aleh R. subekti
dan R. Wirjono prodjodikoro diatas pada dasarnya tidak ada perbedaan yang tidak
prinsipil Adanya perbedaan tersebut hanya terletak pada redaksi kalimat yang
dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertianya saja . yang pasti dari
perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan antara kedua orang atau
keduapihak tersebut.
Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan di antara
kedua orang atau kedua pihak yang membuatnya itu, di dalam menampakkan atau
mewujudkan bentuknya ,perjanjian dapat berupa suatu dangkain perkataan yang
mengandung janji janji atau kesangupan yang di ucapkan tu di tuliskan.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan
perjanjian adalah bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan
para pihak yang mengadakan perjanjiawn itu. Jadi perjajian adalah merupakan
salah satu sumber perikatan disamping sumber sumber perikatan lainya,
perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang
membuatnya tentunya menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk
melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.
b. Subyek
dan Obyek Perjanjian
Pengertian Subyek Hukum
Pengertian subyek hukum (rechts
subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang menimbulkan
wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan pengertian wewenang hukum itu
sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak.
Dalam menjalankan perbuatan
hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang subyek hukum ini di bagi
menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid) dan Kedua,
wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Pembagian Subyek Hukum
1. Manusia:
Pengertian secara yuridisnya ada
dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu Pertama,
manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kedua, kewenangan hukum. Dalam hal ini
kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai
pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai
hak sejak dalam kendungan (Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak semua manusia
mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, orang yang
dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (berumur 21
tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata)
Syarat-syarat Cakap Hukum :
- Seseorang yang sudah dewasa
(berumur 21 tahun)
- Seseorang yang berusia dibawah 21
tahun tetapi pernah menikah
- Seseorang yang sedang tidak
menjalani hukum
- Berjiwa sehat & berakal sehat
Syarat-syarat tidak Cakap Hukum :
§ Seseorang
yang belum dewasa
§ Sakit
ingatan
§ Kurang
cerdas
§ Orang
yang ditaruh dibawah pengampuan
§ Seorang
wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata)
2. Badan
hukum
Menurut sifatnya badan hukum ini
dibagi menjadi dua yaitu:
§ Badan
hukum publik, yaitu badan hukum yang di dirikan oleh pemerintah.
Contohnya : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank negara
§ Badan
hukum privat, adalah badan hukum yang didirikan oleh perivat (bukan pemerintah)
Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma,
Koprasi, Yayasan.
Obyek Hukum
Obyek
hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau
segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum
dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah
tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Benda itu sendiri dibagi menjadi:
1.
Berwujud / Konkrit
a.
Benda
§ bergerak-bergerak sendiri
contoh
: hewan
§ digerakkan
contoh
: kendaraan
b.
Benda tak bergerak
contoh
tanah, pohon-pohon dsb.
2.
Tidak Berwujud/ Abstrak
Contoh: Gas, Pulsa,
dsb.
c. Azas-azas
dalam Hukum Perjanjian
Kitab Undang-undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum
perjanjian.
1. Azas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa
setiap pihak bebas untuk menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau
tidak, bebas mengadakan perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi
perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat perjanjian, dan bebas
menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan
mengalami perkembangan pada zaman Pertengahan (Rennaisance) dengan latar
belakang paham individualisme yang memandang bahwa setiap orang bebas
memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini adalah Hugo de
Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai
azas kebebasan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
2. Azas Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah
apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini termaktub dalam pasal 1320 ayat (1)
KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum
Romawi mengenal azas contractus verbis literis dan contractus innominat, sebuah
perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi suatu bentuk yang ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian
riil dan perjanjian formal. Disebut perjanjian riil apabila perjanjian tersebut
dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut perjanjian formal apabila
perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.
3. Azas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki
kepastian hukum berkaitan dengan akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga
(hakim, dll.) harus menghormati substansi perjanjian dan tidak boleh melakukan
intervensi. Azas kepastian hukum tersebut termaktub dalam pasal 1338 ayat (1)
KUHP.
4. Azas Itikad Baik (Good Faith)
Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi
perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada kepercayaan dan itikad
baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu nisbi dan mutlak.
Itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah
laku subjek perjanjian secara nyata, sedangkan itikad baik mutlak memandang
bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran objektif dan tidak memihak
berdasarkan norma-norma yang ada. Azas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3)
KUHP.
5. Azas Kepribadian (Personality)
Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan
perjanjian berdasarkan kepentingan diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam
pasal 1315 KUHP yang berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri,” dan ditegaskan dalam
pasal 1340: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Dengan demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat
kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal
1317 KUHP: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila
suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
d. Syarat-syarat
Syahnya Perjanjian
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian
dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat komulatif. Keempat
syarat untuk sahnya perjanjian tersebut antara lain :
- Sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri. Artinya
para pihak yang membuat.
- Perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai
hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap
tidak ada apabila diberikan karena kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun
penipuan.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Arti kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak
telah dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai dengan ketentuan
KUHPerdata, mereka yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah menikah.
Cakap juga berarti orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak
dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu. Dan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum yaitu : orang-orang yang belum dewasa, menurut
Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan; orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut
Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUPerdata; serta orang-orang yang dilarang oleh
undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang yang
telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
- Suatu Hal Tertentu. Artinya, dalam membuat
perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban
para pihak bisa ditetapkan.
- Suatu Sebab Yang Halal. Artinya, suatu perjanjian
harus berdasarkan sebab yang halal yang tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
• Tidak
bertentangan dengan ketertiban umum;
• Tidak
bertentangan dengan kesusilaan; dan
• Tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas, syarat kesatu dan kedua dinamakan syarat
subjektif, karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian,
sedangkan ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena berbicara
mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian
bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya dapat
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang
memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian
tersebut tetap mengikat. Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak
dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum. Artinya batal demi hukum bahwa,
dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak ada dasar
untuk saling menuntut di pengadilan.
e. Bentuk-Bentuk
Perjanjian
Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata dapat diketahui
bahwa perikatan di bagi menjadi dua golongan besar yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan
(perjanjian )
2. Perikatan prikatan yang bersumber pada undang
undang .
Selanjutnya menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap
perikatan-perikatan yang bersumber pada undang undang di bagi lagi menjadi dua
golongan yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang
undang ,timbul dari undang undang sebaai akibat perbuatan orang.
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang
undang bedasarkan perbuatan seseorang manusia.
Menurut pasal 1353 KUH .Perdata perikatan tersebut
diatas dapat dibagi lagi menjadi dua macam atau dua golongan yaitu sebagai
berikut :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang
undng berdasarkan perbuatan seseorang yang tidak melanggar hukum . mislnya
sebagai mana yang di atur dalam pasal 1359KUH . Perdata yaitu tentang mengurus
kepentingan orang lain secara sukarela dan seperti yang si atur dlam pasal 1359
KUH .Perdata tentang pembayaran yang tidak di wajibkan.
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang
undang berdasarkan perbuatan seseorang yang melanggar hukum . hal ini diatur
didalam pasal 1365KUH. Perdata
Pada umumya tidk seorang pun dapat mengikatkan diri
atas nama sendiri atau meminta di tetapkan suatu janji , selain untuk dirinya
sendiri .Menurut mariam darus badrulzaman bahwa yang dimaksud dengan subjek
perjanjian adalah :
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak
dari padanya
3. Pihak ketiga
f. Penyusunan
Perjanjian/ Anatomi Kontrak
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Ada beberapa tahapan tentang pembuatan perjanjian, yakni :
A. KESEPAKATAN MEMBUAT PERJANJIAN (DEALING)
Pada umumnya sebelum perjanjian dibuat dan
ditandatangani, didahului dengan kesepakatan para pihak yang akan terlibat
sebagai pihak dalam perjanjian. Contoh dalam perjanjian utang piutang, disepakati
terlebih dahulu mengenai :
1. Jumlah/besarnya pinjaman
2. Jangka Waktu Pinjaman
3. Besarnya Bunga
4. Jaminan
5. Cara Pengembalian Pinjaman
6. Denda.
B. PEMBUATAN DRAFT PERJANJIAN (CONTRACT DRAFTING)
Dalam pembuatan draft perjanjian sebaiknya memperhatikan
hal – hal sebagai berikut:
1. Gunakan kalimat yang sistematis (systematic),
ringkas/ singkat/ padat (concise), jelas (clear) dan tegas (defined) sehingga
mudah dimengerti oleh orang lain.
2. Hindari kalimat/ kata yang dapat ditafsirkan ganda/
multi tafsir! (specific legal meaning)
3. Perhatikan kesalahan penulisan dan penempatan tanda
baca (conscientious writing).
4. Bayangkan kemungkinan-kemungkinan/ resiko yang
dapat terjadi apabila perjanjian telah dilaksanakan. Dengan membayangkan
kemungkinan resiko kelak kita dapat melakukan upaya perlindungan/ proteksi bila
terjadi suatu hal yang mungkin terjadi. pembuatan perjanjian, yakni :rang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
C. TAHAP PENGKAJIAN (CONTRACT REVIEW)
Setelah draft perjanjian selesai dibuat oleh salah
satu pihak yang menyiapkan draft tersebut dan sudah sesuai dengan keinginan
dari pihak yang menyiapkan draft tersebut, biasanya para pihak tidak langsung
menandatangani perjanjian tersebut akan tetapi draft tersebut dikirimkan kepada
pihak lainnya untuk dipelajari, apakah ketentuan/syarat-syarat, kalimat/isi
pasal-pasalnya sudah sesuai dengan keinginan dari masing-masing pihak sesuai
dengan kesepakatan sebelumnya.
Setelah pihak lainnya mempelajari, kemungkinan akan
ada komentar yang dapat berisi koreksi, penambahan atau pengurangan dan lain
sebagainya.
Koreksi, penambahan atau pengurangan tersebut
disampaikan kepada pihak pembuat draft, setelah pembuat draft mempelajari
komentar dari pihak lainnya terdapat 2 kemungkinan :
1. Apabila komentar tersebut diterima maka draft
perjanjian tersebut diperbaiki sesuai komentar tersebut.
2. Apabila pihak pembuat draft keberatan dengan
komentar tersebut maka biasanya para pihak bertemu untuk menegosiasikan
draft/komentar tersebut.
D. NEGOSIASI PERJANJIAN (CONTRACT NEGOTIATION)
Pada tahap ini biasanya para pihak berusaha untuk
memproteksi diri masing-masing dengan argumentasinya. Apabila terjadi dead-lock
dalam negosiasi sebaiknya dicari solusi dengan cara win-win solution namun
tetap berpegang pada 4 pedoman dalam pembuatan draft perjanjian diatas.
Tahap ini tidak berlaku pada perjanjian standar
(standard Contract), karena pada perjanjian standar, pihak lain hanya mempunyai
pilihan sepakat/tidak (take it or leave it) seperti Perjanjian Pertanggungan
Asuransi (polis), Perjanjian Leasing dan sebagainya.
E. PENANDATANGANAN PERJANJIAN (CONTRACT SIGNING)
Setelah draft disetujui para pihak, maka perjanjian
ditandatangani. Tempat penandatanganan Perjanjian dapat dilakukan ditempat
salah satu pihak atau ditempat yang netral.
g. Wanprestasi
(Ingkar Janji)
Wanprestasi,
Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa
- Wanprestasi
Suatu
perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang
dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik
karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun
yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak
memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan
dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila
prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi
prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang
memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk
wanprestasi ada empat macam yaitu:
1) Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2)
Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan
apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.
Untuk
mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian,
kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan
tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal
bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu,
akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak
pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan
sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal
1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas
waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan
tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut
disebut dengan somasi.
Somasi adalah
pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi
ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam
jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut
pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis
itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini
menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.
Dari
ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk
somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat
perintah
Surat
perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan
surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan
selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru
Sita”
2) Akta
sejenis
Akta ini
dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul
dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya
sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam
perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah
pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan
maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam
keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal
termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur
mengakui dirinya wanprestasi.
- Sanksi
Apabila
debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada debitur, yaitu:
1) Membayar
kerugian yang diderita kreditur;
2)
Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan
resiko;
4) Membayar
biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
- Ganti Kerugian
Penggantian
kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en
interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang
dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya
biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau
kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden),
tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan
yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa
kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan
akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara
wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua
sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
a) Conditio
Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan
bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan
peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa.
b) Adequated
Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan
bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila
peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan
akibat (peristiwa B).
Dari kedua
teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena
pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap
sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling
mendekati keadilan.
Seorang
debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela
dirinya, yaitu:
a)
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b)
Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c)
Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti
rugi.
- Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang
tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena
kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari
kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi
atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang
seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan
memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang
menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat
dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada
waktu persetujuan dibuat.
Keadaan
memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat
yaitu:
a) Kreditur
tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor
tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar
ganti rugi;
c) Resiko
tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor
tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.
Mengenai keadaan memaksa ada dua
teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif. Menurut teori obyektif,
debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan
prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya,
penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah
akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat
keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya
tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus
menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat
dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik
berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi
miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan
tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap
dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama
sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar
musnah.
Sedangkan keadaan memaksa yang
bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu
hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan
suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.
- Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan
Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah
Dalam
perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung
maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya
juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya
keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat
Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.
Untuk
kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai,
bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang
yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn),
atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan
kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau
tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang
diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti
ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.
Apabila
barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap
harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan
pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan
dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila
dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang
yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut
harus diganti.
Ganti
kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara
harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman
berupa barang atau uang.
Pentingnya
adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua
belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum
maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan
kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang
yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut,
asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan
Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.
DAFTAR PUSTAKA