Minggu, 23 Desember 2012

Hukum Bisnis - Perjanjian


PENDAHULUAN
·         Latar Belakang
Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia kesepakatan antar manusia dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian merupakan sumber hukum yang semakin penting. Semakin banyak persoalan antar individu yang memerlukan peraturan yang hanya mungkin dilakukan dengan perjanjian.

·         Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas rumusan masalah untuk makalah ini:
1.      Perjanjian yang marak di masyarakat masih banyak yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
2.      Banyaknya sanksi yang tidak di ketahui para pengguna perjanjian apabila dilanggarnya.

·         Tujuan
1.      Untuk mengetahui aturan hukum yang berada dalam perjanjian.
2.      Untuk mengetahui sanksi yang diberikan apabila melanggar.

PEMBAHASAN
a.       Pengertian Perjanjian
Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjin itu adalah “suatu perbuatan hukum dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”.
Menurut R Wirjono Prodjodikoro menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.
Selanjutnya menurut pendapat A,Qirom Samsudin Meliala bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa simana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”
Dalam kitab undang undang hukum Perdata terjenahan R subekhi dan R Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipaki adalah perikatan sebagaimana disebut dalam pasal 1233 KUH Perdata.
Jadi kedua istilah tersrbut sama artinya, tetapi menurut pendapat R.Wirjno Prodjodikoro bahwa Perjanjian dan persetujuan adalah berbeda. Persetujuan adalah suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak, sedangkan perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak. Dimana satu pihak berjanji atau di anggap berjanji ntuk melakukan sesuatu. Hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
Dari kedua definisi yang di kemukakan aleh R. subekti dan R. Wirjono prodjodikoro diatas pada dasarnya tidak ada perbedaan yang tidak prinsipil Adanya perbedaan tersebut hanya terletak pada redaksi kalimat yang dipilih untuk mengutarakan maksud dan pengertianya saja . yang pasti dari perjanjian itu kemudian akan menimbulkan suatu hubungan antara kedua orang atau keduapihak tersebut.

Jadi perjanjian dapat menerbitkan perikatan di antara kedua orang atau kedua pihak yang membuatnya itu, di dalam menampakkan atau mewujudkan bentuknya ,perjanjian dapat berupa suatu dangkain perkataan yang mengandung janji janji atau kesangupan yang di ucapkan tu di tuliskan.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjiawn itu. Jadi perjajian adalah merupakan salah satu sumber perikatan disamping sumber sumber perikatan lainya, perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu.

b.      Subyek dan Obyek Perjanjian
Pengertian Subyek Hukum
Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak.
Dalam menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang subyek hukum ini di bagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid) dan Kedua, wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pembagian Subyek Hukum
1.      Manusia:
Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum yaitu Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kedua, kewenangan hukum. Dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kendungan (Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata)

Syarat-syarat Cakap Hukum :
      • Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun)
      • Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah
      • Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum
      • Berjiwa sehat & berakal sehat

Syarat-syarat tidak Cakap Hukum :
§  Seseorang yang belum dewasa
§  Sakit ingatan
§  Kurang cerdas
§  Orang yang ditaruh dibawah pengampuan
§  Seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata)

2.      Badan hukum
Menurut sifatnya badan hukum ini dibagi menjadi dua yaitu:
§  Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang di dirikan oleh pemerintah.
Contohnya : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank negara
§  Badan hukum privat, adalah badan hukum yang didirikan oleh perivat (bukan pemerintah)
Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma, Koprasi, Yayasan.

Obyek Hukum
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Benda itu sendiri dibagi menjadi:
1.      Berwujud / Konkrit
a.       Benda
§  bergerak-bergerak sendiri
contoh : hewan
§  digerakkan
contoh : kendaraan
b.      Benda tak bergerak
contoh tanah, pohon-pohon dsb.

2.      Tidak Berwujud/ Abstrak
Contoh: Gas, Pulsa, dsb.

c.       Azas-azas dalam Hukum Perjanjian

Kitab Undang-undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum perjanjian.

1. Azas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas untuk menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme yang memandang bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini adalah Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

2. Azas Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus verbis literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi suatu bentuk yang ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.

3. Azas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim, dll.) harus menghormati substansi perjanjian dan tidak boleh melakukan intervensi. Azas kepastian hukum tersebut termaktub dalam pasal 1338 ayat (1) KUHP.

4. Azas Itikad Baik (Good Faith)
Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu nisbi dan mutlak.
Itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara nyata, sedangkan itikad baik mutlak memandang bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran objektif dan tidak memihak berdasarkan norma-norma yang ada. Azas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3) KUHP.

5. Azas Kepribadian (Personality)
Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan kepentingan diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 1315 KUHP yang berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri,” dan ditegaskan dalam pasal 1340: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Dengan demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHP: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

d.      Syarat-syarat Syahnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat komulatif. Keempat syarat untuk sahnya perjanjian tersebut antara lain :
  1. Sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri. Artinya para pihak yang membuat.
  2. Perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan.
  3. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Arti kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, yakni sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, mereka yang telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah menikah. Cakap juga berarti orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum yaitu : orang-orang yang belum dewasa, menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;  orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUPerdata; serta orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
  4. Suatu Hal Tertentu. Artinya, dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
  5. Suatu Sebab Yang Halal. Artinya, suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
• Tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
• Tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan
• Tidak bertentangan dengan undang-undang.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, syarat kesatu dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena berbicara mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah perjanjian. Dalam perjanjian bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum. Artinya batal demi hukum bahwa, dari semula dianggap tidak pernah ada  perjanjian sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan.

e.       Bentuk-Bentuk Perjanjian
Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata dapat diketahui bahwa perikatan di bagi menjadi dua golongan besar yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan (perjanjian )
2. Perikatan prikatan yang bersumber pada undang undang .

Selanjutnya menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap perikatan-perikatan yang bersumber pada undang undang di bagi lagi menjadi dua golongan yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang ,timbul dari undang undang sebaai akibat perbuatan orang.
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang bedasarkan perbuatan seseorang manusia.

Menurut pasal 1353 KUH .Perdata perikatan tersebut diatas dapat dibagi lagi menjadi dua macam atau dua golongan yaitu sebagai berikut :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undng berdasarkan perbuatan seseorang yang tidak melanggar hukum . mislnya sebagai mana yang di atur dalam pasal 1359KUH . Perdata yaitu tentang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela dan seperti yang si atur dlam pasal 1359 KUH .Perdata tentang pembayaran yang tidak di wajibkan.
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang berdasarkan perbuatan seseorang yang melanggar hukum . hal ini diatur didalam pasal 1365KUH. Perdata

Pada umumya tidk seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta di tetapkan suatu janji , selain untuk dirinya sendiri .Menurut mariam darus badrulzaman bahwa yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah :
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya
3. Pihak ketiga

f.       Penyusunan Perjanjian/ Anatomi Kontrak
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ada beberapa tahapan tentang pembuatan perjanjian, yakni :

A. KESEPAKATAN MEMBUAT PERJANJIAN (DEALING)
Pada umumnya sebelum perjanjian dibuat dan ditandatangani, didahului dengan kesepakatan para pihak yang akan terlibat sebagai pihak dalam perjanjian. Contoh dalam perjanjian utang piutang, disepakati terlebih dahulu mengenai :

1. Jumlah/besarnya pinjaman
2. Jangka Waktu Pinjaman
3. Besarnya Bunga
4. Jaminan
5. Cara Pengembalian Pinjaman
6. Denda.

B. PEMBUATAN DRAFT PERJANJIAN (CONTRACT DRAFTING)
Dalam pembuatan draft perjanjian sebaiknya memperhatikan hal – hal sebagai berikut:
1. Gunakan kalimat yang sistematis (systematic), ringkas/ singkat/ padat (concise), jelas (clear) dan tegas (defined) sehingga mudah dimengerti oleh orang lain.
2. Hindari kalimat/ kata yang dapat ditafsirkan ganda/ multi tafsir! (specific legal meaning)
3. Perhatikan kesalahan penulisan dan penempatan tanda baca (conscientious writing).
4. Bayangkan kemungkinan-kemungkinan/ resiko yang dapat terjadi apabila perjanjian telah dilaksanakan. Dengan membayangkan kemungkinan resiko kelak kita dapat melakukan upaya perlindungan/ proteksi bila terjadi suatu hal yang mungkin terjadi. pembuatan perjanjian, yakni :rang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih

C. TAHAP PENGKAJIAN (CONTRACT REVIEW)
Setelah draft perjanjian selesai dibuat oleh salah satu pihak yang menyiapkan draft tersebut dan sudah sesuai dengan keinginan dari pihak yang menyiapkan draft tersebut, biasanya para pihak tidak langsung menandatangani perjanjian tersebut akan tetapi draft tersebut dikirimkan kepada pihak lainnya untuk dipelajari, apakah ketentuan/syarat-syarat, kalimat/isi pasal-pasalnya sudah sesuai dengan keinginan dari masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Setelah pihak lainnya mempelajari, kemungkinan akan ada komentar yang dapat berisi koreksi, penambahan atau pengurangan dan lain sebagainya.
Koreksi, penambahan atau pengurangan tersebut disampaikan kepada pihak pembuat draft, setelah pembuat draft mempelajari komentar dari pihak lainnya terdapat 2 kemungkinan :
1. Apabila komentar tersebut diterima maka draft perjanjian tersebut diperbaiki sesuai komentar tersebut.
2. Apabila pihak pembuat draft keberatan dengan komentar tersebut maka biasanya para pihak bertemu untuk menegosiasikan draft/komentar tersebut.

D. NEGOSIASI PERJANJIAN (CONTRACT NEGOTIATION)
Pada tahap ini biasanya para pihak berusaha untuk memproteksi diri masing-masing dengan argumentasinya. Apabila terjadi dead-lock dalam negosiasi sebaiknya dicari solusi dengan cara win-win solution namun tetap berpegang pada 4 pedoman dalam pembuatan draft perjanjian diatas.
Tahap ini tidak berlaku pada perjanjian standar (standard Contract), karena pada perjanjian standar, pihak lain hanya mempunyai pilihan sepakat/tidak (take it or leave it) seperti Perjanjian Pertanggungan Asuransi (polis), Perjanjian Leasing dan sebagainya.

E. PENANDATANGANAN PERJANJIAN (CONTRACT SIGNING)
Setelah draft disetujui para pihak, maka perjanjian ditandatangani. Tempat penandatanganan Perjanjian dapat dilakukan ditempat salah satu pihak atau ditempat yang netral.

g.      Wanprestasi (Ingkar Janji)
Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa
  1. Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.


3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4)   Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.

  1. Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

  1. Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa.

b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
  1. Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:
a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;
b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c) Resiko tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.

Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif. Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.
Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.
  1. Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah
Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.
Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang tersebut harus diganti.
Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang.

DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar