Minggu, 23 Desember 2012

Hukum Bisnis - PERIKLANAN TELEKOMUNIKASI & BTS


PERIKLANAN TELEKOMUNIKASI & BTS

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Periklanan sebagai salah satu sarana penerangan dan sarana pemasaran, memegang peranan penting di dalam pembangunan yang dilaksanakan bangsa Indonesia. Sebagai sarana penerangan dan pemasaran, periklanan merupakan bagian dari kehidupan media komunikasi yang vital perkembangan dunia usaha serta harus berfungsi menunjang pembangunan.
Demi tanggung jawab sosial dan melindungi nilai-nilai budaya bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, perlu dibentuk pola pengarahan periklanan nasional yang konsepsional. Pola pengarahan periklanan itu harus menunjang asas trilogi pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, termasuk kemajuan dunia usaha, periklanan nasional, dan media komunikasi massa.
Perang  iklan memang bukanlah hal baru di dunia marketing dan promosi. Tidak terkecuali industri telekomunikasi selular yang kini telah melampaui penetrasi lebih dari 50 persen di tanah air. Dunia telekomunikasi seluler masih disibukkan dengan perang tarif. Namun sejak kemunculannya pertama kali di tahun 90-an, saat ini jumlah operator yang beroperasi semakin banyak, dengan posisi pasar yang ditempati oleh pemain ‘yang itu-itu saja’.
Telkomsel masih tercatat sebagai operator incumbent dengan penguasaan pasar lebih dari 50 persen, disusul oleh Indosat, XL, lalu operator-operator kecil yang baru muncul beberapa tahun belakangan. 15 tahun lebih industry seluler telah melayani komunikasi masyarakat di tanah air, sepertinya posisi operator penguasa tidak akan terus menerus ditempati oleh pemain yang sama. Operator boleh saja mengklaim terjadi peningkatan jumlah pelanggan setiap waktu tapi belakangan mulai terlihat ‘siapa yang takut dengan perkembangan siapa’.
Saling klaim banyaknya jumlah pelanggan merupakan hal yang masih sulit dibuktikan kebenarannya. Pasalnya tidak ada lembaga independen yang bisa memberikan data transparan mengenai statistic jumlah pelanggan yang sebenarnya. Kebanyakan operator menghitung penambahan jumlah pelanggan berdasarkan jumlah kartu yang terjual. Padahal tingkat churn rate (kartu hangus) dikabarkan lebih tinggi ketimbang kartu yang terjual.
Rumusan masalah:
1.   Apa saja Undang-Undang/Kode Etik yang mengatur periklanan telekomunikasi?
2.   Bagaimanakah persaingan periklanan telekomunikasi di Indonesia?
3.   Apa saja Undang-Undang yang mengatur pembangunan BTS?
4.   Bagaimana jika BTS didirikan ditengah masyarakat dan adanya kontra didalamnya?
Tujuan masalah:
1.   Mengetahui apa saja UU yang mengatur periklanan telekomunikasi dan pembangunan BTS.
2.   Mengetahui keadaan persaingan periklanan  telekomunikasi di Indonesia.
3.   Mengetahui sebab adanya kontra pada masyarakat dalam pembangunan BTS ditengah masyarakat serta solusi dari permasalahan tersebut.
  

BAB II
PEMBAHASAN
Asas-asas Umum
·      Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
·      Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahakan martabat agama, adat budaya, suku dan golongan.
·      Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan sehat.
Isi iklan
·      Pernyataan dan janji mengenai produk dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Pencantuman harga
·      Bilamana harga suatu produk dicantumkan dalam iklan, maka harus jelas sehingga konsumen mengetahui barang apa yang akan diperoleh dengan harga tersebut.
Perbandingan harga
·      Bila dilakukan suatu perbandingan harga atas suatu produk dengan produk lainnya, maka dasar perbandingan harus sama dan jelas.
·      Pemakaian kata “Cuma-Cuma” atau sejenisnya.
o  Kata “Cuma-Cuma atau sejenisnya tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila tenyata konsumen harus membayar sejumlah uang di luar biaya sebenarnya.
Penggunaan kata berlebih-lebihan:
·      Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “ter”,”paling”,”nomor satu” dan sejenisnya tanpa menjelaskan dalam bidang apa keunggulan itu.

Perbandingan langsung :
·      Iklan yang baik tidak mengadakan perbandingan langsung dengan produk-produk saingannya. Apalagi perbandingan semacam ini diperlukan, maka dasar perbandingan harus sama dan jelas. Konsumen tidak disesatkan oleh perbandingan tersebut.
Merendahkan :
·      Iklan tidak boleh secara langsung ataupun tidak langsung merendahkan produk lain.
Undang – Undang yang terkait masalah periklanan:
A. UU No 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen pada:
 Pasal 17, poin 1 butir c dan f, serta poin 2 yang berbunyi:
1.   Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

2.   Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut

Tinjauan Masalah
Keadaan persaingan periklanan telkomunikasi di Indonesia mulai tidak sehat. Perang iklan  bukanlah hal baru di dunia marketing dan promosi. Dunia telekomunikasi seluler masih disibukkan dengan perang tarif. Namun sejak kemunculannya pertama kali di tahun 90-an, saat ini jumlah operator yang beroperasi semakin banyak, dengan posisi pasar yang ditempati oleh pemain ‘yang itu-itu saja’.
Contoh nyata dari persaingan antar telkomunikasi seluler khususnya antara lain:
1.   Yang paling kentara adalah iklan yang menghadirkan pelawak Sule Sutisna dengan produk Kartu As yang sangat menohok selebritis cilik Baim di iklan XL. Perhatikan kata-katanya di  akhir iklan “Saya kapok dibohongi anak kecil mulu” atau di iklan Kartu As lainnya (yang tanpa Sule) dengan kalimat “Makanya, jangan mau dibohongi anak kecil” (beberapa orang pemuda dengan background lapangan futsal) atau “engga ada sulap-sulapan deh di sini mah” (iklan Kartu As di dalam ruangan).
2.   Yang paling menohok mungkin iklan yang baru-baru ini ditayangkan. Masih menampilkan Sule yang didampingi oleh kelompok musik pemenang Indonesia Mencari Bakat (IMB), Klantink, tampilan awal langsung menggunakan kalimat “Ngapain sih pake cek-cek 123? kelamaan”, lalu di sesi akhir iklan tersebut langsung menghadirkan seorang anak kecil berbaju biru, yang merepresentasikan Baim di iklan XL, dengan mengucapkan kalimat “Ternyata Kartu As paling murah ya, Om Sule”.
Sedangkan menurut BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) iklan operator telekomunikasi saat ini kebablasan. Dikatakan bahwa iklan layanan telekomunikasi yang ditawarkan penyelenggara telekomunikasi di media cetak, elektronik dan media luar ruang dinilai tidak memberikan informasi yang lengkap sehingga terjadi misinterpretasi di kalangan konsumen, melampaui batas etika dan tidak memberikan nilai pendidikan bagi masyarakat.
Iklan tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen, antara lain pada pasal 10 bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif, tawaran potongan harga.
Iklan tersebut juga melanggar UU No.8/1999 pasal 17a yaitu pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, harga barang dan atau tarif, memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa.
Selain itu iklan seperti itu melanggar UU No.8/1999 pasal 17f pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Oleh karena itu, BRTI menginstruksikan agar:
1.      Para penyelenggara telekomunikasi dalam penyelenggaraan telekomunikasi selain memenuhi ketentuan Undang-Undang Telekomunikasi, juga wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
2.      Operator dalam beriklan memperhatikan aturan dan ketentuan berlaku mengenai kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan tepat mengenai harga atau tarif, kondisi dan tawaran potongan harga dari barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
3.  Operator dalam beriklan wajib memperhatikan asas manfaat bahwa pembangunan telekomunikasi harus berdaya guna dan berhasil guna sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir batin, sebagai sarana pendidikan serta ikut serta dalam proses membangun karakter bangsa.
Perbandingan Negara Lain
Pada bulan Juni 2009 yang lalu, Foundation for Consumers (FFC) dan Telecommunication Consumer Protection Institute (TCI) Thailand berinisiatif menyelenggarakan pertemuan yang diberi tema ”Gelombang Baru Perlindungan Konsumen Telekomunikasi di Asia Tenggara”. Beberapa negara Asia dan Pasifik seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Hongkong dan Australia berbagi pengalaman terkait perlindungan konsumen di sektor telekomunikasi.
Pengguna dan Operator
Dari jumlah operator yang beroperasi tampaknya Indonesia memiliki operator paling banyak. Meski jumlah pengguna atau pelanggan juga relatif cukup banyak. Namun demikian dari sisi teledensitas jelas masih relatif kecil karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar.
Menurut data dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel), pengguna telepon tetap di Indonesia saat ini dapat dibedakan antara telepon tetap dengan kabel dan tanpa kabel. Pengguna telepon kabel mencapai 8.701.445 dan dikuasai oleh PT Telkom. Untuk telepon tetap tanpa kabel ada 4 operator yang bermain dengan total pelanggan 22.460.425. Telkom Flexy menguasai hampir 60 persen pangsa pasar dan diikuti oleh Esia (36%). Sementara StarOne dari Indosat dan Mobile 8 masing-masing hanya 3% dan 1,5 %.
Untuk telepon bergerak, perkembangan pelanggan cukup pesat. Saat ini ada 8 operator yang beroperasi. Data terakhir menunjukkan total pelanggan mencapai 143.043.785. Sekitar 50% pangsa pasar dimiliki oleh Telkomsel, dan diikuti oleh Indosat dan Excelcomindo masing-masing 23% dan 17%. Operator lain adalah Three, Fren, Smart dan Axis. Dari sistem pembayaran yang dipilih, ternyata 97 persen pengguna merupakan pelanggan pra bayar.
Singapura, negara dengan populasi hanya sekitar 4,9 juta memiliki dua operator: Sing Tel dan Star Hub. Masing-masing mengeluarkan satu layanan telepon tetap dan selular. Pelanggan telepon tetap 1.876.000 yang menggambarkan 96% rumah tangga atau 39% populasi. Yang menarik, pelanggan telepon selular berjumlah 6.414.800 yang berarti 132% populasi.
Internet merupakan media komunikasi yang sangat umum di Singapura. Ada 87 penyedia jasa layanan internet. Angka ini cukup tinggi dibandingkan Indonesia yang penduduknya lebih dari 40 kali lipat. Pengguna broadband mencapai 4.957.900, sementara wireless broadband diakses oleh 3,9 juta lebih penduduk dan hanya 2 persen, kurang dari 100 ribu, yang menggunakan dial up.
Sedangkan di Thailand, industri telekomunikasi cukup besar dan dilayani oleh beberapa operator. Untuk telepon tetap, jumlah pelanggan mencapai 7.094.717 dengan sebaran: pelanggan TOT (milik pemerintah) sebesar 56,0 persen, True Corp sebanyak 26,82 persen dan 17,08 persen lainnya dikuasai oleh TT&T. Sementara pengguna selular mencapai 61.850.000 yang didominasi oleh pengguna pra bayar (89,5%). Ada beberapa operator penyedia jasa selular yang beroperasi, yaitu AIS menguasai 44% pangsa pasar, diikuti oleh DTAC (30%), True Move (24%), dan Hutchison sekitar dua persen.

Regulasi Terkait
Perkembangan regulasi di setiap negara juga cukup bevariasi. Pada umumnya yang mendasari perlindungan konsumen di bidang telekomunikasi adalah UU Perlindungan Konsumen dan UU Telekomunikasi. Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan lain baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan jasa telekomunikasi.
Di Australia, peraturan terlihat lebih lengkap. Selain UU Telekomunikasi 1997, UU Perlindungan Konsumen dan Standar Pelayanan 1999 dan UU Praktik Perdagangan 1974, ada beberapa UU yang lebih spesifik seperti UU Spam 2003, UU Do not Call Register 2006, dan UU Australian Communications and Media Authority (ACMA) 2005
Demikian juga Singapura, selain UU Perlindungan Konsumen (Perdagangan Adil) 2004 yang revisinya mulai berlaku April 2009, dan UU Telekomunikasi, terdapat juga UU Pengawasan Spam yang mulai berlaku 15 Juni 2007. Dalam UU Telekomunikasi sudah tercakup kode etik layanan premium serta transparansi pada iklan premium. Sementara dalam UU Pengawasan Spam diperkecualikan pesan yang dikirim oleh pemerintah yang berkuasa menyangkut keadaan darurat dan kepentingan publik terkait pertahanan nasional.
Di Indonesia, peraturan setingkat undang-undang memang hanya UU Perlindungan Konsumen dan UU Telekomunikasi. Namun, seperti diceritakan di atas, UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat juga dapat digunakan untuk membongkar perilaku pelaku usaha yang merugikan konsumen.
Keadaan ini lebih kurang sama dengan di Malaysia yang memiliki UU Perlindungan Konsumen 1999 dan UU Komunikasi dan Multi Media 1998. Demikian juga Thailand dengan UU Perlindungan Konsumen 1979 dan UU Bisnis Telekomunikasi 2001. Seperti halnya Indonesia, UU yang mengatur tentang pengawasan spam masih belum ada. 
Khusus terkait penggunaan media telepon bergerak, Indonesia mengeluarkan pengaturan spam melalui Peraturan Menteri Kominfo No 1/2009 tentang Penyelenggaraan sms premium dan sms broadcast pada awal tahun 2009. Namun tentu saja peraturan setingkat ini tidak cukup kuat untuk melindungi pengguna telepon selular dari berbagai aksi operator atau penyedia konten yang senantiasa mencari celah keuntungan.   

Penegakan hukum
Setiap negara memiliki sistem dan mekanisme yang berbeda dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen di sektor telekomunikasi.
Di Australia, ada beberapa institusi yang menangani pengaduan konsumen dengan tipe pengaduan yang ditangani berbeda-beda.
Permasalahan yang dihadapi konsumen pun relatif sama, diantaranya:
·         informasi yang tidak lengkap terkait berlangganan
·         konsumen tidak menyadari telah terkena biaya (pulsa berkurang)
·         pengguna pra bayar merupakan pelanggan yang seringkali menjadi korban
·         tidak dapat menghubungi (berbicara langsung) dengan operator (call center hanya menyediakan mesin penjawab)
·         tidak dapat menghentikan layanan konten premium
·         konsumen mengira menerima spam dan mengabaikan pesan, tapi ternyata otomatis menerima konten dan pulsa terkikis
·         promosi dan penawaran layanan yang menyesatkan
·         iklan yang tidak dapat dibaca dan dipahami dengan mudah.
Menghadapi hal ini masing-masing negara menyusun regulasi untuk mengatur hal ini. Di Indonesia, peraturan yang ada hanya setingkat Peraturan Menteri, sehingga efektivitasnya masih perlu dibuktikan. Meski dalam Permen ini disebutkan soal ganti rugi dan sanksi, mekanisme pembuktian dan penerapan sanksi masih harus diuji. Di sisi lain, pihak operator seharusnya dapat bekerjasama dan mengambil peran dalam melakukan pengawasan, misalnya dengan mengumumkan penyedia layanan konten (sms premium) yang nakal.
Untuk lebih meningkatkan perlindungan konsumen, perlu dilakukan kajian atau komparasi regulasi yang lebih mendalam di antara negara-negara ASEAN. Sehingga best practice yang ada dapat diadopsi dan disesuaikan dengan karakter konsumen dan industri yang ada.

BTS (Base Transceiver Station)
BTS adalah kependekan dari Base Transceiver Station. BTS berfungsi menjembatani perangkat komunikasi pengguna dengan jaringan menuju jaringan lain. Satu cakupan pancaran BTS dapat disebut Cell. Komunikasi seluler adalah komunikasi modern yang mendukung mobilitas yang tinggi. Dari beberapa BTS kemudian dikontrol oleh satu Base Station Controller (BSC) yang terhubungkan dengan koneksi microwave ataupun serat optik. Menara Base Transmitter Station (BTS) sangat vital untuk penyelenggaraan telekomunikasi nirkabel, karena berfungsi menjadi penghubung sinyal antar kawasan. Semakin rapat jarak antar Menara BTS, maka kualitas layanan telekomunikasi menjadi semakin baik. Oleh karena itu, jika suatu kawasan tidak memiliki Menara BTS, maka di kawasan tersebut dapat terjadi blank spot atau tidak terdapat layanan telekomunikasi nirkabel. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan pengguna telepon genggam dan operator telekomunikasi, pertumbuhan Menara BTS juga semakin pesat. Saat ini diperkirakan jumlah Menara BTS yang ada di seluruh Indonesia sudah lebih dari 35 ribu buah dan diprediksikan jumlahnya akan terus bertambah.
Beberapa aturan yang mengatur pembangunan BTS berdasarkan perundang-undangan yaitu:
UU No 28/2009 mengenai Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan keselamatan, keindahan dan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha. Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
UU No 18 tahun 2009, mengenai Peraturan Bersama Mentri Dalam Negri, Mentri Pekerjaan Umum, Mentri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal antara lain:
Pasal 7 :
Pembangunan menara harus memiliki ijin untuk membangun sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 8 :
Peletakan menara terdiri atas:
 a. Peletakan menara diatas tanah.
 b. Peletakan diatas gedung (mini tower).
Pasal 9 :
Pembangunan menara harus memperhitungkan kekuatan dan kestabilan yang berkaitan dengan struktur menara untuk memungkinkan penggunaan menara bersama.
Pasal 10 :
Menara yang telah berdiri harus dapat digunakan secara bersama-sama, apabila diperlukan dilakukan suatu penguatan menara sesuai dengan ketentuan pasal 9.
Pasal 11 :
Dalam hal penguatan menara sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 secara teknis tidak dapat dilakukan, harus dibangun menara pengganti untuk digunakan bersama.
Pasal 12 :
Menara yang didirikan di atas gedung harus dirancang sesuai estetika kota.

Pasal 13 :
(1) Menara harus dilengkapi dengan sarana pendukung dan identitas yang jelas.
 (2) Sarana pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain grounding, penangkal petir, catu daya, Aviation Obstruction Light dan Aviation Obstruction Marking.
 (3) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain : nama pemilik, lokasi, tinggi menara, tahun pembuatan/pemasangan, pembuat dan beban maksimum menara.

Tinjauan Masalah
Pada kawasan yang padat penduduk, dibutuhkan jumlah Menara BTS yang banyak. Hal itu dikarenakan, setiap Menara BTS memiliki kapasitas maksimal pengguna, agar kualitas layanan tetap baik, perlu banyak Menara BTS untuk melayani banyak pengguna. Didorong oleh pertimbangan untuk melayani penggunanya, masing-masing operator telekomunikasi secara agresif membangun Menara BTS. Ada dua cara yang umum dilakukan oleh para operator telekomunikasi, yaitu membangun Menara BTS khusus atau menempatkan BTS di puncak bangunan-bangunan tinggi. Pada awalnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak begitu menaruh perhatian dalam hal pembangunan Menara BTS ini. Namun belakang hari, pemerintah pusat dan daerah mulai merisaukan fenomena yang kerap disebut sebagai hutan menara.
Dan, tidak semua pembangunan BTS berjalan lancar, ada beberapa masyarakat disebagian daerah yang menentang pembangunan BTS ini. Salah satunya di Jakarta, sebagian dari masyarakat Jakarta, khususnya daerah Koja, menolak adanya pembangunan BTS di wilayah mereka. Mereka khawatir membawa dampak buruk bagi kesehatan maupun keselamatan untuk masyarakat sendiri. Sebab, sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) No 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi, pembangunan tower sudah tidak diperbolehkan. Selain itu, belum ada kesepakatan antara warga dengan pemilik menara, sosialisasi rencana pembangunan itu juga tidak ada. Warga takut, apalagi sekarang musim hujan dan angin kencang.
Maka dari itu, sebelum didirikannya BTS, sebaiknya pemilik menara, agar mensosialisasikan dan membuat kesepakatan dengan warga yang bersangkutan. Dengan selalu memperhatikan keselamatan masyarakat sekitar. Dan kembali pada peraturan perundang-undangan yang terkait masalah pembangunan BTS.
Dari pihak Pemerintah pusat, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, merespon fenomena “hutan menara” tersebut dengan mengeluarkan Permenkominfo No 2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Penggunaan Menara Telekomunikasi. Tujuan esensial dari peraturan tersebut adalah menghambat pertumbuhan Menara BTS dengan cara mewajibkan para operator telekomunikasi menggunakan Menara BTS secara bersama-sama.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Sebenarnya, dari masalah persaingan iklan telekomunikasi yang semakin tidak sehat, dapat kita simpulkan bahwa beberapa peraturan UU sukar untuk menyentuh mereka. Padahal sudah dicantumkan dengan jelas UU mengenai telekomunikasi dan perlindungan konsumen. Beberapa iklan telekomunikasi, hanya berkonsentrasi terhadap persaingan antar provider telkomunikasi, dalam mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Sedangkan bagi pihak konsumen, iklan tersebut idak memberikan dampak positif kepada masyarakat, bahkan terkesan menipu mereka, karena ketidaklengkapan informasi yang diberikan.
            Pembangunan BTS, memang diperlukan, tapi untuk kondisi saat ini, pembangunan BTS semakin banyak, hingga menimbulkan fenomena “hutan BTS”, dan beberapa data pembangunan BTS oleh beberapa operator:
Salah satunya ialah PT Bakrie Telecom Tbk. Untuk mempertahakan posisinya, operator Esia ini akan membangun sekitar 300 BTS baru di pulau Jawa. PT Hutchison CP Telecommunication, operator Tri (3), juga berniat menerapkan bahan bakar hidrogen pada 472 BTS miliknya. Manjot Mann, Presiden Direktur Hutchison CP Telecommunication mengklaim, bahan bakar ini lebih hemat energy. PT Natrindo Telepon Seluler juga tak mau kalah mengembangkan BTS. Syakieb A Sungkar, Wakil Presiden Penjualan dan Distribusi Natrindo menyatakan, tahun ini Axis akan menambah 4.000 unit BTS. PT XL Axiata Tbk berniat membangun sekitar 1.500-2.000 BTS tahun ini.
Saran
Masalah yang terkait dengan persaingan periklanan telekomunikasi, sudah waktunya para provider telekomunikasi untuk memperhatikan kembali mengenai UU Telekomunikasi dan UU Perlindungan Konsumen.
Dan pembangunan BTS pun, sesuai dengan Permenkominfo, yang mewajibkan para operator telekomunikasi menggunakan Menara BTS secara bersama-sama. Intinya, semua harus dikembalikan kepada UU yang ada. Dengan memikirkan dampak bagi semua orang yang bersangkutan.



DAFTAR PUSTAKA
UUPK (Undang-Undang Perlindungan Konsumen) No.8 Tahun1999
http://www. kontan.co.id/ Berebut-pelanggan-operator-tambah-BTS.htm
http://www.vivanews.com/ warga_tolak_pembangunan_bts_di_warakas.htm
http://rikkytarihoran.blogspot.com/ aturan-pembuatan-bts.html
http://www.wikipedia.com
http://persaingantelekomunikasi.wordpress.com
http://www.postel.go.id/content/ID/regulasi/standardisasi/kepmen/skb%20menara.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar