PERIKLANAN TELEKOMUNIKASI & BTS
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Periklanan sebagai salah satu sarana penerangan dan
sarana pemasaran, memegang peranan penting di dalam pembangunan yang
dilaksanakan bangsa Indonesia. Sebagai sarana penerangan dan pemasaran,
periklanan merupakan bagian dari kehidupan media komunikasi yang vital
perkembangan dunia usaha serta harus berfungsi menunjang pembangunan.
Demi tanggung jawab sosial dan melindungi
nilai-nilai budaya bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, perlu
dibentuk pola pengarahan periklanan nasional yang konsepsional. Pola pengarahan
periklanan itu harus menunjang asas trilogi pembangunan nasional untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur, termasuk kemajuan dunia usaha, periklanan
nasional, dan media komunikasi massa.
Perang iklan memang bukanlah
hal baru di dunia marketing dan promosi. Tidak terkecuali industri
telekomunikasi selular yang kini telah melampaui penetrasi lebih dari 50 persen
di tanah air. Dunia telekomunikasi seluler masih disibukkan dengan perang tarif.
Namun sejak kemunculannya pertama kali di tahun 90-an, saat ini jumlah operator
yang beroperasi semakin banyak, dengan posisi pasar yang ditempati oleh pemain
‘yang itu-itu saja’.
Telkomsel masih tercatat sebagai
operator incumbent dengan penguasaan pasar lebih dari 50 persen, disusul oleh Indosat,
XL, lalu operator-operator kecil yang baru muncul beberapa tahun belakangan. 15
tahun lebih industry seluler telah melayani komunikasi masyarakat di tanah air,
sepertinya posisi operator penguasa tidak akan terus menerus ditempati oleh pemain
yang sama. Operator boleh saja mengklaim terjadi peningkatan jumlah pelanggan setiap
waktu tapi belakangan mulai terlihat ‘siapa yang takut dengan perkembangan siapa’.
Saling klaim banyaknya jumlah pelanggan
merupakan hal yang masih sulit dibuktikan kebenarannya. Pasalnya tidak ada lembaga
independen yang bisa memberikan data transparan mengenai statistic jumlah pelanggan
yang sebenarnya. Kebanyakan operator menghitung penambahan jumlah pelanggan berdasarkan
jumlah kartu yang terjual. Padahal tingkat churn rate (kartu hangus) dikabarkan lebih tinggi ketimbang kartu
yang terjual.
Rumusan masalah:
1.
Apa
saja Undang-Undang/Kode Etik yang mengatur periklanan telekomunikasi?
2.
Bagaimanakah
persaingan periklanan telekomunikasi di Indonesia?
3.
Apa
saja Undang-Undang yang mengatur pembangunan BTS?
4.
Bagaimana
jika BTS didirikan ditengah masyarakat dan adanya kontra didalamnya?
Tujuan masalah:
1.
Mengetahui
apa saja UU yang mengatur periklanan telekomunikasi dan pembangunan BTS.
2.
Mengetahui
keadaan persaingan periklanan
telekomunikasi di Indonesia.
3.
Mengetahui
sebab adanya kontra pada masyarakat dalam pembangunan BTS ditengah masyarakat
serta solusi dari permasalahan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Asas-asas
Umum
· Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku.
· Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahakan martabat
agama, adat budaya, suku dan golongan.
· Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan sehat.
Isi iklan
· Pernyataan dan janji mengenai produk dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya.
Pencantuman
harga
· Bilamana harga suatu produk dicantumkan dalam iklan, maka harus jelas
sehingga konsumen mengetahui barang apa yang akan diperoleh dengan harga
tersebut.
Perbandingan
harga
· Bila dilakukan suatu perbandingan harga atas suatu produk dengan produk
lainnya, maka dasar perbandingan harus sama dan jelas.
· Pemakaian kata “Cuma-Cuma” atau sejenisnya.
o
Kata “Cuma-Cuma atau sejenisnya tidak boleh
dicantumkan dalam iklan, bila tenyata konsumen harus membayar sejumlah uang di
luar biaya sebenarnya.
Penggunaan
kata berlebih-lebihan:
· Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata “ter”,”paling”,”nomor satu” dan
sejenisnya tanpa menjelaskan dalam bidang apa keunggulan itu.
Perbandingan
langsung :
· Iklan yang baik tidak mengadakan perbandingan langsung dengan
produk-produk saingannya. Apalagi perbandingan semacam ini diperlukan, maka dasar
perbandingan harus sama dan jelas. Konsumen tidak disesatkan oleh perbandingan tersebut.
Merendahkan :
· Iklan tidak boleh secara langsung ataupun tidak langsung merendahkan
produk lain.
Undang – Undang yang terkait masalah periklanan:
A. UU No 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen pada:
Pasal 17, poin 1 butir c dan f,
serta poin 2 yang berbunyi:
1.
Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
c. Memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
f. Melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2.
Pelaku
usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan
pada ayat (1).
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung
jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut
Tinjauan Masalah
Keadaan persaingan periklanan
telkomunikasi di Indonesia mulai tidak sehat. Perang iklan bukanlah hal baru di dunia marketing dan
promosi. Dunia telekomunikasi seluler masih disibukkan dengan perang tarif.
Namun sejak kemunculannya pertama kali di tahun 90-an, saat ini jumlah operator
yang beroperasi semakin banyak, dengan posisi pasar yang ditempati oleh pemain
‘yang itu-itu saja’.
Contoh nyata dari persaingan
antar telkomunikasi seluler khususnya antara lain:
1. Yang
paling kentara adalah iklan yang menghadirkan pelawak Sule Sutisna dengan
produk Kartu As yang sangat menohok selebritis cilik Baim di iklan XL.
Perhatikan kata-katanya di akhir iklan “Saya kapok dibohongi anak kecil
mulu” atau di iklan Kartu As lainnya (yang tanpa Sule) dengan kalimat “Makanya,
jangan mau dibohongi anak kecil” (beberapa orang pemuda dengan background
lapangan futsal) atau “engga ada sulap-sulapan deh di sini mah” (iklan Kartu As
di dalam ruangan).
2. Yang
paling menohok mungkin iklan yang baru-baru ini ditayangkan. Masih menampilkan
Sule yang didampingi oleh kelompok musik pemenang Indonesia Mencari Bakat
(IMB), Klantink, tampilan awal langsung menggunakan kalimat “Ngapain sih pake
cek-cek 123? kelamaan”, lalu di sesi akhir iklan tersebut langsung menghadirkan
seorang anak kecil berbaju biru, yang merepresentasikan Baim di iklan XL,
dengan mengucapkan kalimat “Ternyata Kartu As paling murah ya, Om Sule”.
Sedangkan menurut BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia) iklan operator telekomunikasi saat ini kebablasan. Dikatakan bahwa
iklan layanan telekomunikasi yang ditawarkan penyelenggara telekomunikasi di
media cetak, elektronik dan media luar ruang dinilai tidak memberikan informasi
yang lengkap sehingga terjadi misinterpretasi di kalangan konsumen, melampaui
batas etika dan tidak memberikan nilai pendidikan bagi masyarakat.
Iklan tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen, antara lain pada pasal 10 bahwa pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai
harga atau tarif, tawaran potongan harga.
Iklan tersebut juga melanggar UU No.8/1999 pasal 17a yaitu
pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen
mengenai kualitas, kuantitas, harga barang dan atau tarif, memuat informasi
yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa.
Selain itu iklan seperti itu melanggar UU No.8/1999 pasal
17f pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan
atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Oleh karena itu, BRTI menginstruksikan agar:
1.
Para penyelenggara telekomunikasi
dalam penyelenggaraan telekomunikasi selain memenuhi ketentuan Undang-Undang
Telekomunikasi, juga wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain
yang terkait.
2.
Operator dalam beriklan
memperhatikan aturan dan ketentuan berlaku mengenai kewajiban untuk memberikan
informasi yang benar dan tepat mengenai harga atau tarif, kondisi dan tawaran potongan
harga dari barang dan/atau jasa yang ditawarkan.
3. Operator dalam beriklan wajib
memperhatikan asas manfaat bahwa pembangunan telekomunikasi harus berdaya guna
dan berhasil guna sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lahir batin, sebagai sarana pendidikan serta ikut
serta dalam proses membangun karakter bangsa.
Perbandingan
Negara Lain
Pada bulan Juni 2009 yang lalu, Foundation
for Consumers (FFC) dan Telecommunication Consumer Protection Institute
(TCI) Thailand berinisiatif menyelenggarakan pertemuan yang diberi tema
”Gelombang Baru Perlindungan Konsumen Telekomunikasi di Asia Tenggara”.
Beberapa negara Asia dan Pasifik seperti Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand, Filipina, Hongkong dan Australia berbagi pengalaman terkait
perlindungan konsumen di sektor telekomunikasi.
Pengguna dan Operator
Dari jumlah operator yang beroperasi
tampaknya Indonesia memiliki operator paling banyak. Meski jumlah pengguna atau
pelanggan juga relatif cukup banyak. Namun demikian dari sisi teledensitas
jelas masih relatif kecil karena jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar.
Menurut data dari Direktorat Jenderal
Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel), pengguna telepon tetap di Indonesia
saat ini dapat dibedakan antara telepon tetap dengan kabel dan tanpa kabel.
Pengguna telepon kabel mencapai 8.701.445 dan dikuasai oleh PT Telkom. Untuk
telepon tetap tanpa kabel ada 4 operator yang bermain dengan total pelanggan
22.460.425. Telkom Flexy menguasai hampir 60 persen pangsa pasar dan diikuti
oleh Esia (36%). Sementara StarOne dari Indosat dan Mobile 8 masing-masing
hanya 3% dan 1,5 %.
Untuk telepon bergerak, perkembangan
pelanggan cukup pesat. Saat ini ada 8 operator yang beroperasi. Data terakhir
menunjukkan total pelanggan mencapai 143.043.785. Sekitar 50% pangsa pasar
dimiliki oleh Telkomsel, dan diikuti oleh Indosat dan Excelcomindo
masing-masing 23% dan 17%. Operator lain adalah Three, Fren, Smart dan Axis.
Dari sistem pembayaran yang dipilih, ternyata 97 persen pengguna merupakan
pelanggan pra bayar.
Singapura, negara dengan populasi hanya
sekitar 4,9 juta memiliki dua operator: Sing Tel dan Star Hub. Masing-masing
mengeluarkan satu layanan telepon tetap dan selular. Pelanggan telepon tetap
1.876.000 yang menggambarkan 96% rumah tangga atau 39% populasi. Yang menarik,
pelanggan telepon selular berjumlah 6.414.800 yang berarti 132% populasi.
Internet merupakan media komunikasi
yang sangat umum di Singapura. Ada 87 penyedia jasa layanan internet. Angka ini
cukup tinggi dibandingkan Indonesia yang penduduknya lebih dari 40 kali lipat.
Pengguna broadband mencapai 4.957.900, sementara wireless broadband
diakses oleh 3,9 juta lebih penduduk dan hanya 2 persen, kurang dari 100 ribu,
yang menggunakan dial up.
Sedangkan di Thailand, industri
telekomunikasi cukup besar dan dilayani oleh beberapa operator. Untuk telepon
tetap, jumlah pelanggan mencapai 7.094.717 dengan sebaran: pelanggan TOT (milik
pemerintah) sebesar 56,0 persen, True Corp sebanyak 26,82 persen dan 17,08 persen
lainnya dikuasai oleh TT&T. Sementara pengguna selular mencapai 61.850.000
yang didominasi oleh pengguna pra bayar (89,5%). Ada beberapa operator penyedia
jasa selular yang beroperasi, yaitu AIS menguasai 44% pangsa pasar, diikuti
oleh DTAC (30%), True Move (24%), dan Hutchison sekitar dua persen.
Regulasi Terkait
Perkembangan regulasi di setiap negara
juga cukup bevariasi. Pada umumnya yang mendasari perlindungan konsumen di
bidang telekomunikasi adalah UU Perlindungan Konsumen dan UU Telekomunikasi. Selain
itu, berbagai peraturan perundang-undangan lain baik secara langsung maupun
tidak langsung berhubungan dengan jasa telekomunikasi.
Di Australia, peraturan terlihat lebih
lengkap. Selain UU Telekomunikasi 1997, UU Perlindungan Konsumen dan Standar Pelayanan
1999 dan UU Praktik Perdagangan 1974, ada beberapa UU yang lebih spesifik
seperti UU Spam 2003, UU Do not Call Register 2006, dan UU Australian
Communications and Media Authority (ACMA) 2005
Demikian juga Singapura, selain UU
Perlindungan Konsumen (Perdagangan Adil) 2004 yang revisinya mulai berlaku
April 2009, dan UU Telekomunikasi, terdapat juga UU Pengawasan Spam yang mulai
berlaku 15 Juni 2007. Dalam UU Telekomunikasi sudah tercakup kode etik layanan premium serta
transparansi pada iklan premium. Sementara dalam UU Pengawasan Spam
diperkecualikan pesan yang dikirim oleh pemerintah yang berkuasa menyangkut
keadaan darurat dan kepentingan publik terkait pertahanan nasional.
Di Indonesia, peraturan setingkat
undang-undang memang hanya UU Perlindungan Konsumen dan UU Telekomunikasi.
Namun, seperti diceritakan di atas, UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Tidak Sehat juga dapat digunakan untuk membongkar perilaku pelaku usaha yang
merugikan konsumen.
Keadaan ini lebih kurang sama dengan di
Malaysia yang memiliki UU Perlindungan Konsumen 1999 dan UU Komunikasi dan
Multi Media 1998. Demikian juga Thailand dengan UU Perlindungan Konsumen 1979
dan UU Bisnis Telekomunikasi 2001. Seperti halnya Indonesia, UU yang mengatur
tentang pengawasan spam masih belum ada.
Khusus terkait penggunaan media telepon
bergerak, Indonesia mengeluarkan pengaturan spam melalui Peraturan Menteri
Kominfo No 1/2009 tentang Penyelenggaraan sms premium dan sms broadcast pada
awal tahun 2009. Namun tentu saja peraturan setingkat ini tidak cukup kuat
untuk melindungi pengguna telepon selular dari berbagai aksi operator atau
penyedia konten yang senantiasa mencari celah keuntungan.
Penegakan hukum
Setiap negara memiliki sistem dan
mekanisme yang berbeda dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen di sektor
telekomunikasi.
Di Australia, ada beberapa institusi
yang menangani pengaduan konsumen dengan tipe pengaduan yang ditangani
berbeda-beda.
Permasalahan yang dihadapi konsumen pun relatif sama,
diantaranya:
·
informasi yang tidak lengkap terkait berlangganan
·
konsumen tidak menyadari telah terkena biaya (pulsa
berkurang)
·
pengguna pra bayar merupakan pelanggan yang seringkali
menjadi korban
·
tidak dapat menghubungi (berbicara langsung) dengan
operator (call center hanya menyediakan mesin penjawab)
·
tidak dapat menghentikan layanan konten premium
·
konsumen mengira menerima spam dan mengabaikan pesan,
tapi ternyata otomatis menerima konten dan pulsa terkikis
·
promosi dan penawaran layanan yang
menyesatkan
·
iklan yang tidak dapat dibaca dan dipahami dengan mudah.
Menghadapi hal ini masing-masing negara menyusun regulasi
untuk mengatur hal ini. Di Indonesia, peraturan yang ada hanya setingkat
Peraturan Menteri, sehingga efektivitasnya masih perlu dibuktikan. Meski dalam
Permen ini disebutkan soal ganti rugi dan sanksi, mekanisme pembuktian dan
penerapan sanksi masih harus diuji. Di sisi lain, pihak operator seharusnya
dapat bekerjasama dan mengambil peran dalam melakukan pengawasan, misalnya
dengan mengumumkan penyedia layanan konten (sms premium) yang nakal.
Untuk lebih meningkatkan perlindungan konsumen, perlu
dilakukan kajian atau komparasi regulasi yang lebih mendalam di antara
negara-negara ASEAN. Sehingga best practice yang ada dapat diadopsi dan
disesuaikan dengan karakter konsumen dan industri yang ada.
BTS (Base Transceiver Station)
BTS adalah kependekan
dari Base Transceiver Station. BTS berfungsi menjembatani
perangkat komunikasi pengguna dengan jaringan menuju jaringan lain. Satu
cakupan pancaran BTS dapat disebut Cell. Komunikasi seluler adalah komunikasi
modern yang mendukung mobilitas yang tinggi. Dari beberapa BTS kemudian
dikontrol oleh satu Base Station
Controller (BSC) yang terhubungkan dengan koneksi microwave
ataupun serat optik.
Menara Base Transmitter Station (BTS) sangat vital untuk penyelenggaraan
telekomunikasi nirkabel, karena berfungsi menjadi penghubung sinyal antar
kawasan. Semakin rapat jarak antar Menara BTS, maka kualitas layanan
telekomunikasi menjadi semakin baik. Oleh karena itu, jika suatu kawasan tidak
memiliki Menara BTS, maka di kawasan tersebut dapat terjadi blank spot atau
tidak terdapat layanan telekomunikasi nirkabel. Seiring dengan pesatnya
pertumbuhan pengguna telepon genggam dan operator telekomunikasi, pertumbuhan
Menara BTS juga semakin pesat. Saat ini diperkirakan jumlah Menara BTS yang ada
di seluruh Indonesia sudah lebih dari 35 ribu buah dan diprediksikan jumlahnya
akan terus bertambah.
Beberapa aturan yang mengatur pembangunan BTS berdasarkan
perundang-undangan yaitu:
UU No 28/2009 mengenai
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Pengenaan Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan
pengendalian daerah terhadap pembangunan dan pemeliharaan menara
telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan
memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan keselamatan, keindahan dan sekaligus
memberikan kepastian bagi pengusaha. Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak
berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan
sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari Nilai Jual Objek Pajak PBB
menara telekomunikasi.
UU No 18 tahun 2009, mengenai Peraturan Bersama Mentri Dalam
Negri, Mentri Pekerjaan Umum, Mentri Komunikasi dan Informatika dan Kepala
Badan Koordinasi Penanaman Modal antara lain:
Pasal
7 :
Pembangunan menara harus memiliki ijin untuk membangun
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Pasal
8 :
Peletakan
menara terdiri atas:
a. Peletakan menara diatas tanah.
b. Peletakan diatas gedung (mini tower).
a. Peletakan menara diatas tanah.
b. Peletakan diatas gedung (mini tower).
Pasal 9 :
Pembangunan menara harus memperhitungkan kekuatan dan
kestabilan yang berkaitan dengan struktur menara untuk memungkinkan penggunaan
menara bersama.
Pasal
10 :
Menara yang telah berdiri harus dapat digunakan secara
bersama-sama, apabila diperlukan dilakukan suatu penguatan menara sesuai dengan
ketentuan pasal 9.
Pasal
11 :
Dalam hal penguatan menara sebagaimana dimaksud dalam pasal
10 secara teknis tidak dapat dilakukan, harus dibangun menara pengganti untuk
digunakan bersama.
Pasal
12 :
Menara yang didirikan di atas gedung harus dirancang sesuai
estetika kota.
Pasal
13 :
(1) Menara harus dilengkapi dengan sarana pendukung dan
identitas yang jelas.
(2) Sarana pendukung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain grounding, penangkal petir, catu
daya, Aviation Obstruction Light dan Aviation Obstruction Marking.
(3) Identitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain : nama pemilik, lokasi, tinggi
menara, tahun pembuatan/pemasangan, pembuat dan beban maksimum menara.
Tinjauan Masalah
Pada
kawasan yang padat penduduk, dibutuhkan jumlah Menara BTS yang banyak. Hal itu
dikarenakan, setiap Menara BTS memiliki kapasitas maksimal pengguna, agar
kualitas layanan tetap baik, perlu banyak Menara BTS untuk melayani banyak
pengguna. Didorong oleh pertimbangan untuk melayani penggunanya, masing-masing
operator telekomunikasi secara agresif membangun Menara BTS. Ada dua cara yang
umum dilakukan oleh para operator telekomunikasi, yaitu membangun Menara BTS
khusus atau menempatkan BTS di puncak bangunan-bangunan tinggi. Pada awalnya,
pemerintah pusat maupun daerah tidak begitu menaruh perhatian dalam hal
pembangunan Menara BTS ini. Namun belakang hari, pemerintah pusat dan daerah
mulai merisaukan fenomena yang kerap disebut sebagai hutan menara.
Dan, tidak semua pembangunan BTS berjalan lancar, ada
beberapa masyarakat disebagian daerah yang menentang pembangunan BTS ini. Salah
satunya di Jakarta, sebagian dari masyarakat Jakarta, khususnya daerah Koja,
menolak adanya pembangunan BTS di wilayah mereka. Mereka khawatir membawa
dampak buruk bagi kesehatan maupun keselamatan untuk masyarakat sendiri. Sebab,
sesuai Peraturan Gubernur (Pergub) No 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan
Penataan Menara Telekomunikasi, pembangunan tower sudah tidak diperbolehkan.
Selain itu, belum ada kesepakatan antara warga dengan pemilik menara,
sosialisasi rencana pembangunan itu juga tidak ada. Warga takut, apalagi
sekarang musim hujan dan angin kencang.
Maka
dari itu, sebelum didirikannya BTS, sebaiknya pemilik menara, agar mensosialisasikan
dan membuat kesepakatan dengan warga yang bersangkutan. Dengan selalu
memperhatikan keselamatan masyarakat sekitar. Dan kembali pada peraturan
perundang-undangan yang terkait masalah pembangunan BTS.
Dari pihak Pemerintah pusat, melalui Kementerian
Komunikasi dan Informatika, merespon fenomena “hutan menara” tersebut dengan
mengeluarkan Permenkominfo No
2/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang
Pedoman Penggunaan Menara Telekomunikasi. Tujuan esensial dari peraturan
tersebut adalah menghambat pertumbuhan Menara BTS dengan cara mewajibkan para
operator telekomunikasi menggunakan Menara BTS secara bersama-sama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebenarnya, dari masalah persaingan
iklan telekomunikasi yang semakin tidak sehat, dapat kita simpulkan bahwa
beberapa peraturan UU sukar untuk menyentuh mereka. Padahal sudah dicantumkan
dengan jelas UU mengenai telekomunikasi dan perlindungan konsumen. Beberapa
iklan telekomunikasi, hanya berkonsentrasi terhadap persaingan antar provider
telkomunikasi, dalam mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya. Sedangkan bagi
pihak konsumen, iklan tersebut idak memberikan dampak positif kepada
masyarakat, bahkan terkesan menipu mereka, karena ketidaklengkapan informasi
yang diberikan.
Pembangunan BTS, memang diperlukan,
tapi untuk kondisi saat ini, pembangunan BTS semakin banyak, hingga menimbulkan
fenomena “hutan BTS”, dan beberapa data pembangunan BTS oleh beberapa operator:
Salah
satunya ialah PT Bakrie Telecom Tbk. Untuk mempertahakan posisinya, operator
Esia ini akan membangun sekitar 300 BTS baru di pulau Jawa. PT Hutchison CP
Telecommunication, operator Tri (3), juga berniat menerapkan bahan bakar
hidrogen pada 472 BTS miliknya. Manjot Mann, Presiden Direktur Hutchison CP
Telecommunication mengklaim, bahan bakar ini lebih hemat energy. PT
Natrindo Telepon Seluler juga tak mau kalah mengembangkan BTS. Syakieb A
Sungkar, Wakil Presiden Penjualan dan Distribusi Natrindo menyatakan, tahun ini
Axis akan menambah 4.000 unit BTS. PT XL Axiata
Tbk berniat membangun sekitar 1.500-2.000 BTS tahun ini.
Saran
Masalah
yang terkait dengan persaingan periklanan telekomunikasi, sudah waktunya para
provider telekomunikasi untuk memperhatikan kembali mengenai UU Telekomunikasi
dan UU Perlindungan Konsumen.
Dan
pembangunan BTS pun, sesuai dengan Permenkominfo, yang mewajibkan
para operator telekomunikasi menggunakan Menara BTS secara bersama-sama.
Intinya, semua harus dikembalikan kepada UU yang ada. Dengan memikirkan dampak
bagi semua orang yang bersangkutan.
DAFTAR
PUSTAKA
UUPK (Undang-Undang Perlindungan
Konsumen) No.8 Tahun1999
http://www. kontan.co.id/ Berebut-pelanggan-operator-tambah-BTS.htm
http://rikkytarihoran.blogspot.com/
aturan-pembuatan-bts.html
http://www.wikipedia.com
http://persaingantelekomunikasi.wordpress.com
http://www.postel.go.id/content/ID/regulasi/standardisasi/kepmen/skb%20menara.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar