ETIKA BISNIS
Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam
membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk menganalisis
batas-batas kompetensi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan
belajar dari kegagalan.
Menurut kamus, makna etika adalah kajian moralitas, akan tetapi
walaupun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan
moralitas. Etika adalah semacam penelaahan, baik aktifitas penelaahan maupun
hasil dari penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan subyek.
Moralitas adalah pedoman yang dimilki oleh individu atau kelompok
mengenai apa itu yang baik dan jelek, benar dan jahat. Etika merupakan studi
standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan yang benar dan
didukung dengan penalaran yang baik. Sedangkan etika bisnis adalah studi yang
berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana yang akan diterapkan dalam
kebijakan institusi dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar
formal dan bagian standar itu diterapkan kedalam sistem organisasi atau bisnis
yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang
dan jasa dan diterapkan pada orang-orang yang berkepentingan dalam organisasi
atau bisnis tersebut.
Akan tetapi tidak semua orang dapat menerimanya, karena perbedaan
pendapat, seperti kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya) atau
oxymoron, yang mengatakan mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap
orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling
tidak) “bertangan kotor”. Ditambah satu pandangan lagi, bahwa masalah etika
bisnis sering muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang
apabila “beretika” maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang
hedonistik materialistik, pandangan ini tampaknya bukan merupakan rahasia lagi
karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan
berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan
etika itu sendiri.
Tapi bagaimanapun pandangan beberapa orang yang menganggap etika
bisnis secara negatif, tetapi etika bisnis memang diperlukan dengan beberapa
alasan didalamnya, antara lain, meningkatkan kepercayaan publik pada bisnis,
berkurangnya potensi regulasi pemerintah yang dikeluarkan sebagai aktivitas
kontrol atas perusahaan-perusahaan, menyediakan pegangan untuk dapat diterima
sebagai pedoman dalam melaksanakan bisnis, dan menyediakan tanggung jawab atas
perilaku yang tak beretika.
Dapatkah pengertian moral seperti tanggung jawab terhadap perbuatan
yang salah dan kewajiban dapat diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan,
ataukah pada perorangan (individu) sebagai perilaku moral yang nyata? Ada dua
pandangan mengenai masalah ini, yang pertama; adalah pandangan yang berpendapat
bahwa karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk
mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang
disengaja atas apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka
bertanggung jawab secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka
adalah bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama dengan yang
dilakukan manusia pada umumnya. Pandangan kedua, adalah pandangan filsuf yang
berpendirian bahwa tidak masuk akal berfikir bahwa organisasi bisnis secara
moral dapat bertanggung jawab karena ia gagal mengikuti standar moral atau
mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis sama
seperti mesin yang anggotanya harus membabi buta dalam mentaati peraturan
formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk
akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal
mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal
bertindak secara moral.
Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan
individu manusia, individu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga
utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral: individu manusia bertanggung
jawab atas apa yang dilakukan perusahaan, karena tindakan perusahaan secara
keseluruhan mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan
itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu,
jika perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam
perusahaan bertindak secara bermoral.
Etika bisnis dalam perusahaan
memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang
kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan
nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan
strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh
budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara
konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada
dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk
jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
· Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya
kemungkinan terjadinya penyelewengan penggunaan keuangan, baik intern
perusahaan maupun dengan eksternal.
· Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
· Melindungi prinsip kebebasan
berniaga
· Mampu meningkatkan keunggulan
bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang
tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari
konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui
gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya.
Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.
Sedangkan perusahaan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang
memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila
perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi
dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.
Dalam dunia bisnis, yang tidak hanya
menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan
secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan
etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak,
baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya
satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak yang lain berpijak pada
apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak yang terkait yang tidak
mengetahui dan tidak menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang
disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi,
jelas antara satu pihak dan pihak yang lain
perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan
yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.
Pengendalian
diri.
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan
pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan main curang atau menekan
pihak yang bersangkutan, walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku
bisnis, tetapi harus tetap memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.
2.
Pengembangan
tanggung jawab sosial.
Pelaku bisnis disini dituntut untuk
peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk uang dengan jalan
memberikan sumbangan saj, melainkan lebih kompleks lagi.
3.
Mempertahankan
jati diri dan tidak mudah untuk terombang ambing oleh pesatnya perkembangan
informasi dan tekhnologi.
Bukan berarti etika bisnis anti
dengan perkembangan informasi dan tekhnologi, tetapi informasi dan tekhnologi
itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah
dan tidak kehilangan budaya yang kita miliki selama ini.
4.
Menciptakan
persaingan yang sehat.
Persaingan dalam dunia bisnis perlu
untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi bukan berarti dengan
mematikan yang lemah, melainkan harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku
bisnis besar dengan kalangan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangan
perusahaan tersebut dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan
sekitarnya.
5.
Menerapkan
konsep “pembangunan berkelanjutan”.
Seharusnya para pelaku bisnis tidak
hanya memikirkan keuntungan saat ini saja, tetapi juga harus memikirkan tentang
perkembangan di masa yang akan datang. Maka dari itu, pelaku bisnis dituntut
untuk tidak mengeksploitasi lingkungan dan keadaan sekarang semaksimalkan
mungkin tanpa memperhitungkan keadaan di masa datang.
6.
Menghindari
sifat 5K (Katabelece, Kongkalingkong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi).
Jika para pelaku bisnis bisa
menghindari 5 sifat diatas, maka tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan
korupsi, manipulasi dan segala macam bentuk permainan curang demi mendapatkan
keuntungan.
7.
Mampu
menyatakan yang benar itu benar.
Artinya, kalau pelaku bisnis itu
memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan
tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan ‘katabelece’ dari ‘koneksi’ serta
melakukan ‘kongkalingkong’ dengan data yang salah, juga jangan memaksa diri
untuk mengadakan ‘kolusi’ serta memberikan ‘komisi’ kepada pihak yang terkait.
8.
Menumbuhkan
sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha
kebawah.
Untuk menciptakan kondisi bisnis
yang ‘kondusif’ harus ada saling percaya, agar pengusaha lemah mampu berkembang
bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah mapan dan besar.
9.
Konsekuen
dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan
rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis
yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan
perundang-undangan.
Hal ini untuk menjamin kepastian
hukum dari etika bisnis tersebut, seperti ‘proteksi’ terhadap pengusaha lemah.
Seperti
yang dikatakan diatas, bahwa pelaku bisnis atau perusahaan memiliki tanggung
jawab sosial ketika menghasilkan produk dan menjual produknya. Artinya,
perusahaan memiliki kesadaran mengenai bagaimana keputusan bisnisnya dapat
mempenggaruhi masyarakat. Dalam hal ini, ada yang dinamakan tanggung jawab
bisnis yang artinya sekelompok tugas dan kewajiban berkaitan dengan kualitas
produk dan perlakuan terhadap pelanggan, karyawan, dan pemilik yang seharusnya
dipenuhi oleh perusahaan ketika menjalankan bisnis.
Perusahaan
harus dapat memastikan tanggung jawabnya terhadap pelanggan dengan beberapa
langkah sebagai berikut: menetapkan kode tanggungjawab bisnis yang mencangkup
kualitas produk, serta pedoman bagaimana karyawan, pelanggan, dan pemilik
sebaiknya diperlakukan. Memantau keluhan pelanggan mengenai produk perusahaan
atau perlakuan yang mereka terima dari karyawan perusahaan. Memperoleh dan
menggunakan umpan balik pelanggan, dengan meminta pelanggan untuk memberikan
umpan balik atas produk atau jasa yang baru mereka beli, atau dengan membagikan kuesioner kepada pelanggan guna menentukan
bagaimana pelanggan tersebut diperlakukan.
Disamping
tanggung jawab terhadap pelanggan, perusahaan juga bertanggung jawab terhadap
karyawannya dengan jaminan kerja (employee safety) dengan memastikan tempat
kerja yang aman bagi pekerja, perlindungan terhadap pelecehan seksual,
memastikan tidak ada diskriminasi antar karyawan, memberikan kesempatan yang
sama/Hak Sipil kepada semua karyawan perusahaan tersebut. Dan untuk memastikan
pertanggung jawaban perusahaan terhadap karyawan telah diatur dalam: keluhan
prosedur, kode etik, dan Undang-undang ketenagakerjaan.
Setelah
tanggung jawab terhadap karyawannya, perusahaan juga harus bertanggung jawab
terhadap pemegang saham yaitu dengan meyakinkan tanggung jawab dengan melaporkan
keuangan perusahaan kepada para pemegang saham, dan menggunakan dana perusahaan
dengan sebaik-baiknya, dan sebaliknya para pemegang sahampun agar tidak terlalu
mempengaruhi kebijakan manajemen perusahaan demi kepentingan pribadi.
Selanjutnya,
perusahaan bertanggung jawab kepada para kreditor dengan memenuhi kewajiban
keuangan perusahaan kepada kreditor. Dan jika perusahaan mengalami masalah
keuangan dan tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka perusahaan tersebut harus
menginformasikan hal ini pada kreditor. Yang diharapkan kreditor dapat
memberikan perpanjangan waktu jatuh tempo pembayaran kewajiban perusahaan,
karena jika perusahaan tidak membayar kewajibannya pada kreditor, maka
perusahaan tersebut dapat dipaksa pailit.
Selain
itu, perusahaan juga bertanggung jawab pada lingkungan antara lain: pencegahan
polusi udara dengan cara peninjauan kembali proses produksi, dan mengikuti
semua petunjuk atau pedoman penyelenggaraan pemerintah yang mengharuskan
perusahaan untuk membatasi karbondioksida yang ditimbulkan oleh proses
produksi. Pencegahan polusi daratan/tanah dengan cara peninjaun kembali proses
produksi dan pengemasannya guna mengurangi jumlah limbah, kemudian menyimpan
limbah beracun dan mengirimnya ke tempat penyimpanan khusus untuk limbah
beracun.
Selanjutnya
tanggung jawab perusahaan terhadap komunitas tempat perusahaan tersebut berdiri
dan mengandalkan orang-orang di komunitas tersebut untuk menjadi pelanggan dan
karyawannya dengan cara mensponsori acara masyarakat lokal, menyumbangkan
sedikit keuntungan perusahaan kapada masyarakat yang tidak mampu, dan
menyumbangkan guna tujuan memajukan bidang pendidikan.
Kebutuhan
tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah
dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak, apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan globalisasi di muka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam
dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, maka semua
penyelewengan kerja tidak akan terjadi, dan tidak merugikan semua pihak.
Pelanggaran
etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar
internasional. Ini bisa jadi sikap para pengusaha kita. Lebih parah lagi bila
pengusaha Indonesia menganggap remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan
tidak bersifat mengikat itu. Kecenderungan
makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak.
Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat
masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak,
para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama
mereka sendiri dan negara.
Seyogyanya,
sebagai seorang muslim selalu berusaha agar kegiatan bisnis yang dilakukan
dapat berjalan harmonis dan menghasilkan kebaikan dalam kehidupan, maka kita
harus menjadikan bisnis yang kita lakukan terwarnai dengan nilai-nilai etika.
Salah satu
sumber rujukan etika dalam bisnis menurut pandangan islam tentu saja etika yang
bersumber dari tokoh teladan agung manusia di dunia, yaitu Rasulullah SAW.
Beliau telah memiliki banyak panduan etika untuk praktek bisnis kita, yaitu:
1.
Kejujuran.
Kejujuran meyrupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah
sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini,
beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang
mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya," (H.R. Al-Quzwani).
"Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami," (H.R.
Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau
melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru
di bagian atas.
2.
Menolong atau
memberi manfaat kepada orang lain, kesadaran tentang signifikansi sosial
kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar
keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi
kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong
orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan
mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan
bagi orang lain dengan menjual barang.
3.
Tidak boleh
menipu, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan
yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah:
"Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi". (QS 83: 112).
4.
Tidak boleh
menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad SAW
bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud
untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain," (H.R.Muttafaq‘alaih).
5.
Tidak menimbun
barang. Ihtikar ialah menimbun barang (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa
tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menja di naik dan keuntungan
besar pun diperoleh). Rasulullah melarang kerasnya.
6.
Tidak melakukan
monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi
monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan)
individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan
kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk
keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini
dilarang dalam Islam.
7.
Komoditi bisnis
yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti
babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Sebagaimana yang disebutkan dalam
hadist Rasulullah SAW.
8.
Bisnis yang
dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, "Hai orang-orang yang
beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman," (QS.
al-Baqarah:: 278). Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang
yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan
perang terhadap riba.
9.
Bisnis
dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, "Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang
batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara
kamu," (QS. 4: 29).
10.
Membayar upah
sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Berikanlah
upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya." Hadis ini
mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran
upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
Dalam kaitannya
dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang
harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia
dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang
dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas).
Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau
beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan)
di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari
setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tidak semata-mata
orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka
pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan
penting dalam ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak
harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan
symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal
yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan
upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas
kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan
kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam
Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi
mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan"
(diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.
Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih? yaitu beriman kepada Allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih? yaitu beriman kepada Allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Di sebagian
masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keliru terhadap teks
al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi
kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat
dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep
Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari
jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh
kemenangan duniawi, maka dia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki
keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah
seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi
itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi,
sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa
disamping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada
faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuan tentang
etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur
bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu
yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika,
maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika.
Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun (termasuk
bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Maka dari itu, dalam kehidupan ini
setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilematis antara harus
memilih keputusan bisnis sempit semata atau keputusan etis yang sesuai dengan
lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya pada sabda Nabi
Muhammad SAW, atau logika ekonomi diatas, dan kemudian memilih keputusan etis
maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu A’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Madura, Jeff. Introduction to
Bussiness 4th Edition, Jakarta, Salemba Empat, 200
Ahmad Juwaini ,Direktur Eksekutif
Dompet Dhuafa Republika, http://muslimdaily.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar