Minggu, 23 Desember 2012

Makalah Etika Bisnis


ETIKA BISNIS

Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk menganalisis batas-batas kompetensi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan.
Menurut kamus, makna etika adalah kajian moralitas, akan tetapi walaupun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan, baik aktifitas penelaahan maupun hasil dari penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan subyek.
Moralitas adalah pedoman yang dimilki oleh individu atau kelompok mengenai apa itu yang baik dan jelek, benar dan jahat. Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan yang benar dan didukung dengan penalaran yang baik. Sedangkan etika bisnis adalah studi yang berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana yang akan diterapkan dalam kebijakan institusi dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagian standar itu diterapkan kedalam sistem organisasi atau bisnis yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan pada orang-orang yang berkepentingan dalam organisasi atau bisnis tersebut.
Akan tetapi tidak semua orang dapat menerimanya, karena perbedaan pendapat, seperti kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya) atau oxymoron, yang mengatakan mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) “bertangan kotor”. Ditambah satu pandangan lagi, bahwa masalah etika bisnis sering muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila “beretika” maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang hedonistik materialistik, pandangan ini tampaknya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Tapi bagaimanapun pandangan beberapa orang yang menganggap etika bisnis secara negatif, tetapi etika bisnis memang diperlukan dengan beberapa alasan didalamnya, antara lain, meningkatkan kepercayaan publik pada bisnis, berkurangnya potensi regulasi pemerintah yang dikeluarkan sebagai aktivitas kontrol atas perusahaan-perusahaan, menyediakan pegangan untuk dapat diterima sebagai pedoman dalam melaksanakan bisnis, dan menyediakan tanggung jawab atas perilaku yang tak beretika.
Dapatkah pengertian moral seperti tanggung jawab terhadap perbuatan yang salah dan kewajiban dapat diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada perorangan (individu) sebagai perilaku moral yang nyata? Ada dua pandangan mengenai masalah ini, yang pertama; adalah pandangan yang berpendapat bahwa karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian yang sama dengan yang dilakukan manusia pada umumnya. Pandangan kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal berfikir bahwa organisasi bisnis secara moral dapat bertanggung jawab karena ia gagal mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus membabi buta dalam mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral.
Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia, individu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral: individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan perusahaan, karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara bermoral.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
·      Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya penyelewengan penggunaan keuangan, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
·      Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
·      Melindungi prinsip kebebasan berniaga
·      Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.
Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya  termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.
Dalam dunia bisnis, yang tidak hanya menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak yang lain berpijak pada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak yang terkait yang tidak mengetahui dan tidak menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas antara satu pihak dan pihak yang lain  perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.        Pengendalian diri.
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan main curang atau menekan pihak yang bersangkutan, walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi harus tetap memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.
2.        Pengembangan tanggung jawab sosial.
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk uang dengan jalan memberikan sumbangan saj, melainkan lebih kompleks lagi.
3.        Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan tekhnologi.
Bukan berarti etika bisnis anti dengan perkembangan informasi dan tekhnologi, tetapi informasi dan tekhnologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang kita miliki selama ini.
4.        Menciptakan persaingan yang sehat.
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi bukan berarti dengan mematikan yang lemah, melainkan harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dengan kalangan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangan perusahaan tersebut dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan sekitarnya.
5.        Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”.
Seharusnya para pelaku bisnis tidak hanya memikirkan keuntungan saat ini saja, tetapi juga harus memikirkan tentang perkembangan di masa yang akan datang. Maka dari itu, pelaku bisnis dituntut untuk tidak mengeksploitasi lingkungan dan keadaan sekarang semaksimalkan mungkin tanpa memperhitungkan keadaan di masa datang.
6.        Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalingkong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi).
Jika para pelaku bisnis bisa menghindari 5 sifat diatas, maka tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan korupsi, manipulasi dan segala macam bentuk permainan curang demi mendapatkan keuntungan.
7.        Mampu menyatakan yang benar itu benar.
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan ‘katabelece’ dari ‘koneksi’ serta melakukan ‘kongkalingkong’ dengan data yang salah, juga jangan memaksa diri untuk mengadakan ‘kolusi’ serta memberikan ‘komisi’ kepada pihak yang terkait.
8.        Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah.
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang ‘kondusif’ harus ada saling percaya, agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah mapan dan besar.
9.        Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati.
10.    Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati.
11.    Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti ‘proteksi’ terhadap pengusaha lemah.

Seperti yang dikatakan diatas, bahwa pelaku bisnis atau perusahaan memiliki tanggung jawab sosial ketika menghasilkan produk dan menjual produknya. Artinya, perusahaan memiliki kesadaran mengenai bagaimana keputusan bisnisnya dapat mempenggaruhi masyarakat. Dalam hal ini, ada yang dinamakan tanggung jawab bisnis yang artinya sekelompok tugas dan kewajiban berkaitan dengan kualitas produk dan perlakuan terhadap pelanggan, karyawan, dan pemilik yang seharusnya dipenuhi oleh perusahaan ketika menjalankan bisnis.
Perusahaan harus dapat memastikan tanggung jawabnya terhadap pelanggan dengan beberapa langkah sebagai berikut: menetapkan kode tanggungjawab bisnis yang mencangkup kualitas produk, serta pedoman bagaimana karyawan, pelanggan, dan pemilik sebaiknya diperlakukan. Memantau keluhan pelanggan mengenai produk perusahaan atau perlakuan yang mereka terima dari karyawan perusahaan. Memperoleh dan menggunakan umpan balik pelanggan, dengan meminta pelanggan untuk memberikan umpan balik atas produk atau jasa yang baru mereka beli, atau dengan membagikan  kuesioner kepada pelanggan guna menentukan bagaimana pelanggan tersebut diperlakukan.
Disamping tanggung jawab terhadap pelanggan, perusahaan juga bertanggung jawab terhadap karyawannya dengan jaminan kerja (employee safety) dengan memastikan tempat kerja yang aman bagi pekerja, perlindungan terhadap pelecehan seksual, memastikan tidak ada diskriminasi antar karyawan, memberikan kesempatan yang sama/Hak Sipil kepada semua karyawan perusahaan tersebut. Dan untuk memastikan pertanggung jawaban perusahaan terhadap karyawan telah diatur dalam: keluhan prosedur, kode etik, dan Undang-undang ketenagakerjaan.
Setelah tanggung jawab terhadap karyawannya, perusahaan juga harus bertanggung jawab terhadap pemegang saham yaitu dengan meyakinkan tanggung jawab dengan melaporkan keuangan perusahaan kepada para pemegang saham, dan menggunakan dana perusahaan dengan sebaik-baiknya, dan sebaliknya para pemegang sahampun agar tidak terlalu mempengaruhi kebijakan manajemen perusahaan demi kepentingan pribadi.
Selanjutnya, perusahaan bertanggung jawab kepada para kreditor dengan memenuhi kewajiban keuangan perusahaan kepada kreditor. Dan jika perusahaan mengalami masalah keuangan dan tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka perusahaan tersebut harus menginformasikan hal ini pada kreditor. Yang diharapkan kreditor dapat memberikan perpanjangan waktu jatuh tempo pembayaran kewajiban perusahaan, karena jika perusahaan tidak membayar kewajibannya pada kreditor, maka perusahaan tersebut dapat dipaksa pailit.
Selain itu, perusahaan juga bertanggung jawab pada lingkungan antara lain: pencegahan polusi udara dengan cara peninjauan kembali proses produksi, dan mengikuti semua petunjuk atau pedoman penyelenggaraan pemerintah yang mengharuskan perusahaan untuk membatasi karbondioksida yang ditimbulkan oleh proses produksi. Pencegahan polusi daratan/tanah dengan cara peninjaun kembali proses produksi dan pengemasannya guna mengurangi jumlah limbah, kemudian menyimpan limbah beracun dan mengirimnya ke tempat penyimpanan khusus untuk limbah beracun.
Selanjutnya tanggung jawab perusahaan terhadap komunitas tempat perusahaan tersebut berdiri dan mengandalkan orang-orang di komunitas tersebut untuk menjadi pelanggan dan karyawannya dengan cara mensponsori acara masyarakat lokal, menyumbangkan sedikit keuntungan perusahaan kapada masyarakat yang tidak mampu, dan menyumbangkan guna tujuan memajukan bidang pendidikan.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak, apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi di muka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, maka semua penyelewengan kerja tidak akan terjadi, dan tidak merugikan semua pihak.
Pelanggaran etika bisnis itu dapat melemahkan daya saing hasil industri dipasar internasional. Ini bisa jadi sikap para pengusaha kita. Lebih parah lagi bila pengusaha Indonesia menganggap remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak bersifat mengikat itu. Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.
Seyogyanya, sebagai seorang muslim selalu berusaha agar kegiatan bisnis yang dilakukan dapat berjalan harmonis dan menghasilkan kebaikan dalam kehidupan, maka kita harus menjadikan bisnis yang kita lakukan terwarnai dengan nilai-nilai etika.
Salah satu sumber rujukan etika dalam bisnis menurut pandangan islam tentu saja etika yang bersumber dari tokoh teladan agung manusia di dunia, yaitu Rasulullah SAW. Beliau telah memiliki banyak panduan etika untuk praktek bisnis kita, yaitu:
1.        Kejujuran. Kejujuran meyrupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya," (H.R. Al-Quzwani). "Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami," (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
2.        Menolong atau memberi manfaat kepada orang lain, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3.        Tidak boleh menipu, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: "Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi". (QS 83: 112).
4.        Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain," (H.R.Muttafaq‘alaih).
5.        Tidak menimbun barang. Ihtikar ialah menimbun barang (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menja di naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang kerasnya.
6.        Tidak melakukan monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
7.        Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW.
8.        Bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman," (QS. al-Baqarah:: 278).  Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
9.        Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu," (QS. 4: 29).
10.    Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya." Hadis ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tidak semata-mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak  harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika  oreientasi bisnis dan upaya investasi  akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih? yaitu beriman kepada Allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keliru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka dia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."
Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa disamping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuan tentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun (termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Maka dari itu, dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilematis antara harus memilih keputusan bisnis sempit semata atau keputusan etis yang sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya pada sabda Nabi Muhammad SAW, atau logika ekonomi diatas, dan kemudian memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu A’lam.



DAFTAR PUSTAKA

Madura, Jeff. Introduction to Bussiness 4th Edition, Jakarta, Salemba Empat, 200
Ahmad Juwaini ,Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Republika, http://muslimdaily.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar